Beranda | Artikel
Menjaga Kedudukan Para Ulama
19 jam lalu

Menjaga Kedudukan Para Ulama adalah kajian Fiqih Do’a dan Dzikir yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 6 Jumadil Awal 1447 H / 28 Oktober 2025 M.

Kajian Tentang Menjaga Kedudukan Para Ulama

Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri Rahimahullahu Ta’ala berkata:

مَا يُرَادُ اللّٰهُ بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ، وَمَا طُلِبَ الْعِلْمُ فِيْ زَمَانٍ أَفْضَلَ مِنْهُ الْيَوْمَ

“Tidaklah diraih keridhaan Allah pada sesuatu yang lebih utama daripada menuntut ilmu. Dan tidaklah ilmu dicari di suatu waktu yang paling utama selain hari ini.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa menuntut ilmu, jika diniatkan benar-benar mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan amal yang paling utama. Ketika Sufyan Ats-Tsauri, di zamannya yang banyak ulama, menyatakan menuntut ilmu itu sangat utama, maka bagaimana dengan zaman sekarang? Mengingat kini kebodohan merajalela, menuntut ilmu lebih ditekankan lagi urgensinya.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah pernah berpendapat bahwa jihad yang paling agung di zaman ini adalah menuntut dan menyebarkan ilmu.

Perbandingan Ilmu dan Amal di Dua Zaman

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadlih, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّكُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيرٌ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيلٌ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيرٌ مُعْطُوهُ، قَلِيلٌ سُؤَّالُهُ، الْعَمَلُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ، وَسَيَأْتِي زَمَانٌ كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ، قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيلٌ مُعْطُوهُ، فَالْعِلْمُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ

“Sesungguhnya kalian berada di suatu zaman yang ulamanya banyak, penceramahnya sedikit, yang memberi banyak, yang minta-minta sedikit. Beramal di zaman itu lebih baik daripada berilmu. Dan nanti akan datang zaman yang penceramahnya banyak, ulamanya sedikit, yang minta-minta banyak, yang memberi sedikit. Maka, berilmu di zaman itu lebih baik dari beramal.” (HR. Tirmidzi)

Semakin ilmu dibutuhkan, semakin besar pahala menuntut ilmu saat itu.

Maimun bin Mihran Rahimahullah berkata:

إِنَّ مَثَلَ الْعَالِمِ فِي الْبَلَدِ كَمَثَلِ عَيْنٍ عَذْبَةٍ فِي الْبَلَدِ

“Sesungguhnya perumpamaan seorang ulama di suatu tempat itu bagaikan mata air segar di tempat tersebut.”

Sebagaimana mata air adalah sumber air minum, pengairan, dan kehidupan, demikian pula keberadaan ulama adalah sumber kehidupan hati, karena ilmu menghidupkan hati dan membimbing kepada kebaikan. Kehadiran seorang alim ulama di suatu tempat adalah rezeki (ghanimah) bagi masyarakat di sekitarnya.

Keutamaan Ulama Dibanding Ahli Ibadah

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah, seorang tabi’in, berkata:

اَلْعَالِمُ خَيْرٌ مِنْ زَاهِدٍ فِي الدُّنْيَا مُجْتَهِدٍ فِي الْعِبَادَةِ، يَنْشُرُ حِكْمَةَ اللّٰهِ، فَإِنْ قُبِلَتْ حَمِدَ اللّٰهَ، وَإِنْ رُدَّتْ حَمِدَ اللّٰهَ

“Orang yang alim (berilmu) lebih utama daripada orang yang zuhud dalam kehidupan dunia yang sungguh-sungguh dalam ibadah. Sebab, seorang alim menyebarkan ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika ilmunya diterima, ia memuji Allah. Jika ditolak pun, ia memuji Allah.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang perbandingan antara orang berilmu dengan ahli ibadah:

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

“Keutamaan ulama dibandingkan dengan ahli ibadah seperti keutamaan bulan dibandingkan dengan bintang-bintang.”

Ahli ibadah, jika ibadahnya tanpa ilmu, sangat mudah jatuh kepada bid’ah dan sikap ghuluw (berlebihan). Manfaat kebaikan ahli ibadah umumnya untuk diri sendiri, sementara ulama memiliki manfaat yang luas untuk banyak orang, karena mereka memahami cara ibadah yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata: “Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.”

Hal ini sejalan dengan hadits yang telah dibahas pada kajian sebelumnya: “Keutamaan ilmu itu lebih baik daripada keutamaan ibadah.” Sebab, ibadah tidak akan beres tanpa didasari ilmu.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah pernah ditanya, “Mana yang paling engkau sukai, aku shalat malam (shalat sunnah) atau aku duduk mencatat ilmu?”

Imam Ahmad menjawab: “Kalau kamu duduk mencatat ilmu agar kamu memahami urusan agamamu, maka itu lebih aku sukai.”

Al-Imam Ahmad juga menyatakan: “Ilmu itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun.”

Di zaman dahulu, ketika ulama banyak, kebutuhan akan ilmu begitu besar. Namun, di zaman yang manusia lebih mencintai dunia, “cuan” (keuntungan materi) seolah lebih didahulukan daripada ilmu. Harta sering kali ditempatkan seakan menjadi tuhan selain Allah Azza wa Jalla, sementara ilmu agama dianggap sebagai urusan sampingan.

Menjaga Kedudukan Para Ulama

Para ulama memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, wajib bagi semua Muslim untuk menjaga kedudukan mereka. Akan tetapi, penting untuk mengenali siapa yang benar-benar ulama dan siapa yang hanya dianggap ulama.

Di masa kini, tidak sedikit orang yang diulamakan, padahal mereka tidak memiliki pengetahuan ilmu agama yang mendalam. Mereka hanya pandai beretorika atau pintar berbicara, sehingga dianggap ulama, meskipun terkadang apa yang mereka sampaikan menyimpang.

Menempatkan orang yang bukan ulama sebagai rujukan dapat merusak agama. Ini merupakan salah satu penyebab rusaknya agama, yaitu ketika perkataan mereka dijadikan sandaran, sehingga mereka bebas berbicara tentang agama tanpa dalil yang benar, melainkan hanya berdasarkan pendapat pribadi.

Hakikat seorang alim (ulama) adalah seseorang yang berilmu tentang Al-Qur’an, sunnah, serta memiliki pemahaman yang benar dalam mengimplementasikannya, sesuai dengan pemahaman salafus shalih dan perkataan ulama terdahulu.

Hak Ulama dan Bahaya Meremehkan

Kebutuhan kepada ilmu agama melebihi kebutuhan kepada makanan dan minuman. Makanan dan minuman dibutuhkan untuk kehidupan badan, sedangkan ilmu agama adalah untuk kehidupan hati. Di akhirat, yang bermanfaat bukanlah harta atau kedudukan, melainkan ilmu yang bermanfaat dan diamalkan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda, tidak menghormati yang lebih tua, dan tidak mengetahui hak para ulama.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah)

Kalimat “لَيْسَ مِنَّا” (bukan dari golongan kami) sering kali menunjukkan makna bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Harmoni masyarakat tercipta ketika yang tua menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati yang tua.

Makna “mengetahui hak ulama” adalah menjaga kehormatan mereka, mengambil ilmu dari mereka, dan tidak berlebihan (ghuluw) dalam mengagungkan mereka. Para ulama memperingatkan bahwa daging ulama itu beracun, artinya mengghibah (menggunjing) ulama adalah musibah besar bagi kehidupan seorang Muslim.

Musuh-musuh Islam kerap berupaya menghancurkan Islam dengan cara membunuh karakter para ulama. Mereka mencari-cari kesalahan dan kekurangan ulama lalu menyebarkannya agar masyarakat menjauh dari ulama yang sebenarnya.

Apabila masyarakat jauh dari ulama, mereka akan kehilangan teladan (uswah). Akibatnya, yang dijadikan teladan adalah bintang film, penyanyi, atau tokoh-tokoh duniawi lainnya. Kerusakan karakter ulama yang terjadi telah membantu keberhasilan tipu daya orang-orang kafir untuk menjauhkan umat dari agamanya. Padahal, tegaknya Islam adalah dengan adanya ulama, menghormati ulama berarti membantu tegaknya Islam. Karena Islam tegak dengan ilmu dan amal.

Ketika tidak ada pemahaman tentang kedudukan ulama, orang-orang yang tidak bertanggung jawab pun muncul dan berani merusak kehormatan ulama, bahkan dengan tuduhan yang merendahkan. Sebagai contoh, ada yang berkata, “Ah, ulama itu tahunya hanya tentang haid dan nifas saja,” atau menuduh mereka sebagai ulama penjilat, sebagaimana tuduhan yang pernah dialamatkan kepada Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahumallah.

Dampak buruk dari tidak diakuinya ulama yang benar adalah munculnya rujukan-rujukan yang salah. Kesalahan dalam menentukan rujukan ulama dapat merusak agama seseorang. Oleh karena itu, mengenali dan menjaga hak ulama yang benar adalah kunci untuk memelihara keutuhan agama.

Download MP3 Kajian Tentang Menjaga Kedudukan Para Ulama


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55792-menjaga-kedudukan-para-ulama/